Jumat, 11 November 2016

JongKey – 11 November (part V)

0

Previous Parts :
[PART I]    [PART II]    [PART III]   [PART IV]




It’s 11 - 11 
When there’s not much time left to the day 
When we used to make wishes and laugh 
Everything reminds me of you 
The wind is as cold as the edge of your heart 
When I open the window, you blow in 
When this time passes 
Will this break up be over? 
Will I forget you?


Natal tahun 2015 lalu, aku dan Minho membuat janji untuk bertemu di suatu kedai kopi baru di ujung blok rumahku. Suara Minho terdengar sangat bersemangat di line telepon ketika aku memberitahunya kalau aku sudah sampai di kedai kopi impiannya. 
 
“Tunggu sebentar, Key. Aku segera sampai. Kira-kira 5 menit lagi.” 
 
Dan benar saja, 5 menit kemudian pengunjung kafe dikagetkan oleh kedatangan seseorang yang tinggi dan besar dengan langkah buru-buru menuju meja yang kutempati. Nafasnya terengah-engah dan tanpa ba-bi-bu langsung menduduki kursi yang ada di depanku.
 
“Santai saja bung! Aku tak akan ke mana-mana kok.” Aku terkekeh melihatnya mencabuti tisu yang ada di atas meja dan mengelap wajahnya secara sembarangan. 
 
“Aku tak enak membuatmu menunggu, Key. Lagipula aku kan yang mengajakmu mampir ke sini.” 
 
Sesaat kemudian, pelayanpun datang menanyakan pesanan kami. Aku memesan Americano sementara Minho memesan minuman dan snack entahlah aku tak terlalu hafal nama menunya karena panjang sekali. 
 
“Kukira kau suka minuman manis semacam Caramel Machiato?” 
 
“Entahlah, aku hanya ingin sesuatu yang agak pahit untuk saat ini.” Jelasku sambil menahan senyum. 
 
Sambil menunggu datangnya pesanan, Minho bercerita panjang lebar tentang pengalaman pertamanya menyelam di pulau terpencil yang baru saja ia kunjungi minggu lalu. Yah, Minho memang suka sekali dengan hal-hal yang berbau traveling. Saat kuliah dulu pun, dia kerap sekali absen hanya untuk bepergian ke tempat-tempat yang menurut dia ‘indah’. Kondisi ini semakin diperparah saat kami sudah lulus. Dia pasti akan lost contact selama beberapa minggu, dan saat kembali, dia pasti membawa cerita baru dan berbagai macam oleh-oleh. Dia memang seperti itu. 
 
“Pesanan datang.” 
 
Suara pelayan kedai menghentikan Minho untuk bercerita sejenak. Setelah cukup mencicipi menu yang kami pesan, Minho sedikit membenarkan posisi duduknya sambil berdeham beberapa kali. 
 
“Ehm.. hmmm.... K-Key... Apa kau ingat reuni SMPku minggu lalu?” 
 
Reuni SMP Minho? Aaaaa pasti saat Minho menelponku dengan tergesa waktu itu dan merengek – mungkin hampir menangis – karena dia tak bisa datang. (Dia masih menyelam di pulau antah-berantah waktu itu, kalian ingat?) 
 
“Reuni yang tak bisa kau datangi itu kan?” 
 
“Yap! Ingatanmu masih bagus tenyata, Key.” 
 
“Bukannya memang dari dulu ingatanku bagus? Mungkin aku masih bisa mengingat tempat mana saja yang sudah kau kunjungi selama beberapa bulan terakhir.” 
 
“Wow, sahabatku memang hebat!” Minhopun menepuk-nepuk bahuku dengan bangga. 
 
“Kenapa kau tanyakan itu? Kau mau merengek lagi?” 
 
“Heiiii bukan itu masalahnya. Bisakah kau melupakan kejadian memalukan itu, Key? Please..........” 
 
“Baiklah baiklah, tapi katakan padaku ada apa.” 
 
“Okey. Sebenarnya begini. Waktu itu aku sempat menghubungi beberapa temanku SMP yang bisa ikut ke acara itu. Dan kau tahu? Apa berita terheboh yang mereka sampaikan padaku saat reuni berlangsung?” 
 
Oh tidak perasaanku mulai tak enak.
 
“Hmmm, apa? Katakanlah.” 
 
Minho sedikit mengatur nafasnya menjadi sedikit lebih tergesa dari sebelumnya, entah karena apa. 
 
“Dia datang Key,” 
 
Jangan katakan.......
 
“Kim Jonghyun datang.” 
 

 

Everything finds its place and leaves 
You took all of me and left 
But like the two hands of the clock in my heart 
I keep lingering in the same place

Beberapa hari setelah pertemuanku dengan Minho, aku tetap menjalani rutinitasku seperti biasa. Aku sudah mendapat pekerjaan sekarang, walaupun belum seperti apa yang aku cita-citakan tapi aku dengan senang hati menjalaninya. Mendapat tempat baru, teman-teman baru yang menyenangkan, dan beberapa teman lama yang masih kerap menghubungiku di sela-sela waktu mereka juga. Ketika aku sedang disibukkan dengan beberapa pekerjaan yang menumpuk di awal pekan, aku dikagetkan oleh satu panggilan telepon yang berasal dari saudara jauhku. Nam Woohyun. 
 
“Hei Key. Bagaimana kabarmu?“ 
 
Suaranya terdengar masih sama seperti dulu. Terlalu sungkan untuk bicara akrab padaku walaupun sebenarnya kami juga tak terlalu akrab. Kami pernah satu sekolah saat SMA tapi kami jarang bertegur sapa. Nam Woohyun, sosok cerdas sekaligus pendiam. Walaupun kami hanyalah seperti orang asing yang tak pernah menghabiskan waktu bersama, aku tak akan melupakan fakta bahwa kami tetap bersaudara. 
 
“Aku baik-baik saja, Woohyun. Long time no see.” 
 
“Iya, Key, lama tak bertemu denganmu juga. Aku dapat promosi dan dipindah tugaskan sekarang.” 
 
“Waaaah, selamat! Lalu kau bertugas di mana?” 
 
“Thanks. Aku ada di Jepang sekarang.” 
 
Eh? Jepang?
 
“Jepang?” Aku berusaha menormalkan suaraku. “Wah kau sudah jadi orang hebat sekarang.” 
 
“Jangan berlebihan, Key. Eh, aku mau menanyakan sesuatu padamu, boleh?” 
 
“Kenapa kau harus tanya aku dulu? Tanya langsung saja tak apa-apa.” 
 
“Aku hanya tak enak padamu. Tapi ini sangat mendesak, Key. Aku butuh bantuanmu.”
 
“Bantuanku? Katakan saja Woohyun, aku akan berusaha membantumu kalau aku bisa.” 
 
“Hmmmm begini. Aku punya masalah di sini Key. Pekerjaanku mengharuskan aku untuk mengenal negara ini, khusunya kota Tokyo dengan baik. Tapi kau tau masalahku dahulu kan? Aku susah sekali akrab dengan orang lain, apalagi dengan orang asing.” 
 
Yaaah, Woohyun masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. Mungkin. Tapi sebentar, sepertinya aku mendengar Woohyun menyebutkan kota Tokyo. Ah, tak mungkin.
 
“Apa tak ada rekan sesama kerjamu untuk membantumu?” Aku berusaha bertanya senormal mungkin dan membuang nada curigaku padanya.
 
“Aku kan baru pindah Key. Aku belum terlalu mengenal mereka juga. Dan kau tahu? Aku diharuskan untuk sering-sering terjun ke lapangan. Jadi aku harus sebisa mungkin membuat diriku untuk lebih mengenal kota ini kan?” 
 
“Oke, jadi itu masalahnya. Tapi kau ingin meminta bantuanku? Aku saja tak mengenal Jepang dengan baik. Bagaimana aku bisa memandumu? Nanti bisa-bisa kau malah aku sesatkan.” 
 
“Bukan bantuan untuk kau temani, Key. Tapi ini hal lain. Kudengar, eeemmmm, Jong.....hyun juga sedang ada di Tokyo kan? Bagaimana kalau aku meminta kontaknya padamu? Apa kau masih menyimpannya?” 
 
Astaga. Aku terduduk lemas mendengarnya. Aku harus bilang apa? Terakhir kali aku berhubungan dengan Jonghyun saja entah beberapa bulan yang lalu – atau mungkin setahun yang lalu. Mungkin lebih. Dan jelas-jelas aku sudah menghapus nomornya dari daftar kontakku. Tapi aku juga tak bisa membiarkan Woohyun kecewa karena aku tak bisa membantunya. 
 
“Key? Maaf kalau aku menanyakan itu. Aku tahu kalau kalian sudah berakhir. Tapi aku berfikir mungkin kau masih menyimpan nomor kontaknya, jadi aku memberanikan diri untuk meminta padamu.” Suara Woohyun terdengar bergetar, pasti dia sedang merasa bersalah saat ini.
 
“Hei, tak apa-apa. Jangan sungkan padaku untuk meminta bantuan apapun. Tapi kelihatannya aku sudah tak punya nomor kontaknya lagi. Nanti aku tanyakan ke temanku dahulu, bagaimana?” 
 
“Benarkah? Apa itu tak merepotkanmu? Mian, Key.” 
 
Gwaenchana, nanti kalau sudah kudapatkan nomor kontaknya, pasti aku akan menghubungimu.” 
 
Dan di fikiranku sekarang hanyalah satu orang, yang bisa membantuku mendapatkan nomor kontak orang itu. 
 
 
Hari Minggu pagi, aku dan Taemin bertemu seperti biasa. Kami terbiasa memanfaatkan hari Minggu untuk sekedar berkumpul bersama, entah menghabiskan beberapa stok film, atau kadang membeli beberapa kudapan sambil mengobrol beberapa hal yang cukup ringan. Dan kesempatan ini aku gunakan untuk menanyai tentang pesanan Nam Woohyun kemarin, karena aku tahu, sahabatku Lee Taemin masih mempunyai hubungan yang cukup baik, atau mungkin ‘sangat baik’ dengan orang itu
 
“Taemin-ah, kau masih ingat teman SMA kita, Nam Woohyun?” 
 
“Saudaramu itu Key? Iya sepertinya aku masih ingat. Waeyo?” 
 
“Hmmm, dia ada di Jepang saat ini.” 
 
“Wah!!! Daebak! Sepertinya dia sudah sukses sekarang.” 
 
“Iya, tapi masalahnya dia meminta sesuatu padaku kemarin. Tapi aku tak bisa memberinya. Aku butuh bantuanmu.” 
 
“Sesuatu? Apa itu, Key? Sepenting itukah?” 
 
“Entahlah. Tapi, dia membutuhkan teman di sana. Bukankah, J-jj-joonghyunn ada di Jepang juga?” Oh, tidak. Mengapa aku jadi tergagap saat menyebut namanya?
 
“Oh, aku tahu maksudmu.” 
 
“Iya, jadi bisakah kau berikan nomor kontak Jonghyun untuknya? Aku tahu kau pasti punya.” 
 
“Iya Key, nanti aku kirim ke ponselmu.” 
 
Setelah nomor kontak Jonghyun terkirim di ponselku, aku segera menyimpannya, dan mengirimkannya ke Woohyun. 
 
 
Tapi sebentar, kenapa aku ikut menyimpannya di ponselku juga tadi?


.


If you forgot about it all
I guess I have to erase it 
It won’t be a big deal after a while 
Everything finds its place and leaves


Rutinitasku yang kulakukan setiap Minggu memang lebih sering kuhabiskan waktu bersama Lee Taemin. Karena kebetulan hari liburku sama dengannya (mungkin hampir semua orang juga libur di hari Minggu). Tapi jelasnya, Taemin adalah sahabat satu-satunya yang paling mudah kutemui karena tempat kerjanya tak terlalu jauh dari tempatku. Setiap kami bertemu, aku tak pernah menanyakan apapun perihal Kim Jonghyun. Taemin pun juga tak pernah menyinggung sedikitpun tentang-nya. Walaupun aku tahu, mereka masih sering berhubungan satu sama lain. Tapi terkadang di saat kadar keingintahuanku berada di batas maksimal, aku akan bertanya tentang-nya, dan Taemin secara spontan dan semangat akan menceritakan apapun padaku. Termasuk hal bahwa dia sekarang tak sama seperti yang dulu lagi. Aku jadi teringat cerita Minho seminggu yang lalu tentang berita heboh yang terjadi saat reuni SMPnya.

 
.


*FLASHBACK*
 
“Dia datang Key. Kim Jonghyun datang.” 
 
Aku setengah gelagapan saat mendengar Minho menyebut namanya. Dan nafasku terasa semakin tercekat saat mendengar kalau dia ternyata pulang ke sini saat natal lalu.
 
“Benarkah? Seingatku Taemin tak pernah cerita kalau dia ke sini, Minho-ya.” 
 
“Aku juga tak tahu Key, kau tahu kan aku sendiri tak ikut acara itu. Anak-anak yang bercerita padaku. Saat itu, Jonghyun datang. Semuanya tak ada yang menyangka kalau dia tiba-tiba muncul karena sejak kelulusan, dia tak pernah memberi kabar apapun padaku bahkan pada teman-temanku yang lain. Tapi apa kau tahu Key apa yang membuat mereka heboh?” 
 
“Lanjutkan Minho.....” 
 
“Dia berubah. Kim Jonghyun sudah berubah sekarang. Secara fisik, penampilan, entahlah semuanya berubah. Kata mereka, dia sekarang lebih berisi, lebih kekar, lebih kelihatan anak orang berada dilihat dari cara dia berpakaian. Dia sangat jauh sekali dibandingkan dengan dia yang dulu. Dia tak sama seperti dulu lagi, Key. Dia bukan seperti Kim Jonghyun yang kita kenal dulu.” 
 
Dia bukan seperti Kim Jonghyun yang kita kenal.
 
Dia bukan seperti Kim Jonghyun yang kita kenal.
 
Dia bukan seperti Kim Jonghyun..........
 
 
 
yang aku kenal.

 
.

 
Like a strange flower that blooms between seasons 
Like the morning star that hangs between days 
All of this, some day 
Will pass


Obrolanku dengan Minho seminggu yang lalu bercampur dengan obrolanku dengan Taemin pagi tadi membuatku berfikir. Tentang Kim Jonghyun yang sudah berubah, yang tak sama seperti yang dulu lagi. Apakah dia berubah seperti apa yang dia inginkan selama ini? Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di otakku, sampai tiba-tiba nada notifikasi L*NE ku berbunyi menandakan sebuah pesan baru masuk menghentikan lamunanku. 
 
From : K.J.H Key?
 
K.J.H? Sepertinya tak asing. Kenapa dia bisa tahu nama panggilanku? Dan aku kira aku sempat lupa bagaimana cara bernafas saat kubuka profil picture nya. Foto selfi Kim Jonghyun! Astaga! Kenapa bisa? Dengan jari bergetar, aku berusaha membalas senormal mungkin. 
 
Iya? Jonghyun? Send >> 
 
Beberapa menit kemudian, pesan balasan pun datang. 
 
From : K.J.H Iya, ini aku. Bagaimana kabarmu?
 
Entah kenapa jariku terasa kaku. Tak selincah biasanya seperti saat aku membalas chatting dengan teman-temanku. 
 
Baik, kau? Send >> 
 
Dan akhirnya obrolan pun berlanjut dengan canggungnya. Jonghyun memang banyak menanyaiku, tentang apa saja yang aku lakukan selama ini atau kabar orang-orang terdekatku (yang pernah dia kenal sebelumnya). Aku hanya menjawab sekenanya, bahkan aku hanya menjawab persis dari apa yang dia tanyakan. Tak lebih. Ada rasa seperti ‘rindu’ saat aku menunggui balasannya satu persatu, tapi aku juga tak menampik bahwa aku merasa ‘rindu’ ini amatlah salah. Tak seharusnya rasa itu muncul lagi. Entah kenapa rasa yang sudah lama tak menghinggapiku itu kubiarkan mengalir tanpa berusaha kuterima ataupun kutolak. Rasa ingin tahuku tentang bagaimana Jonghyun mendapatkan nomor kontakku yang aku gunakan ini akan aku simpan sampai esok hari. Mungkin aku akan bertanya pada Taemin.


 

Everything finds its place and returns 
If I finally smile as if nothing happened 
Calling out your name 
Won’t hurt as much as it does now 

Keesokan harinya, Jonghyun masih tetap mengirimiku pesan, tapi dalam interval yang cukup lama. Aku berasumsi bahwa kegiatannya sekarang mungkin tidak mengizinkan dia untuk bermain-bermain dengan gadget dalam waktu yang lama, apalagi hanya sekedar untuk membalas pesan. Berdasarkan cerita yang Jonghyun sempat ceritakan padaku kemarin, dia saat ini mengikuti salah satu pusat kebugaran tubuh di kotanya. Sempat kulihat di sosial medianya dan tampaklah foto-foto kegiatan Jonghyun di klub tersebut bersama teman-temannya. Dia terlihat bahagia, sepertinya. 
 
Setelah aku memutuskan untuk tak berlebihan lagi dalam menstalk sosial medianya, aku menghubungi Taemin. Aku sedikit bercerita padanya tentang Jonghyun yang tiba-tiba menghubungiku. Tapi anehnya, Taemin mengatakan kalau dia tak pernah merasa memberikan nomorku kepada Jonghyun. 
 
“Aku tak pernah memberikan nomormu padanya, Key. Kalaupun pernah, bukankah aku harus ijin padamu dulu?” 
 
“Benarkah?” 
 
Taeminpun meng-iya-kan pasti. 
 
Kalau bukan Taemin, lantas siapa? Apakah Woohyun? Tapi dia bukanlah tipikal orang yang akan membagi-bagikan nomor kontak seperti itu. Setelah lelah karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, akhirnya kuputuskan untuk mengecek kembali percakapanku dengan Jonghyun. Alangkah terkejutnya aku ketika kucari riwayat percakapanku dengannya, nama yang biasanya terpampang di kotak chat, berubah nama menjadi ‘ruang kosong’. Buru-buru kubuka profil kontaknya, tapi tak kutemukan. 
 
It’s gone
 
Nama K.J.H alias Kim Jonghyun sudah tak ada di daftar kontakku.


.


Saat ini aku sudah tak terlalu memikirkan tentang hal-hal yang berhubungan dengannya. Tentang dari mana dia mendapat nomorku (aku menduga ini fitur dari aplikasi L*NE yang kugunakan, yang memungkinkan orang akan mendapat notifikasi jika ada orang lain yang menyimpan nomornya, jadi otomatis mungkin Jonghyun saat itu mendapat notifikasi saat aku menyimpan nomornya yang padahal akan kuberikan untuk Woohyun), tentang ‘ruang kosong’ yang muncul di percakapanku dengannya dulu (apa aku yang di-block atau bagaimana aku tak terlalu perduli), dan fakta tentang Kim Jonghyun yang saat ini masih menjalani hubungan dengan orang yang sama setelah berpisah denganku 5 tahun yang lalu. 
 
Bukannya aku tak tahu, mungkin aku berusaha untuk tak terlalu perduli untuk semua hal yang berhubungan dengan Kim Jonghyun. Apakah pantas aku mengganggu seseorang yang sudah jelas-jelas menemukan bahagianya saat ini? Apakah aku masih diijinkan untuk menyapa masa laluku yang telah menemukan masa depannya di sana? Kurasa, tidak. 
 
Aku terlalu lelah untuk berjalan di tempat, sementara dia sudah berjalan jauh ke arah yang berbeda. Aku tak pernah memaksa hatiku untuk 100% melupakan semua hal tentang Kim Jonghyun, karena dia akan selalu kuanggap sebagai kenangan. Dengan definisi yang menegaskan bahwa kenangan bukanlah tempat untuk tinggal, melainkan hanya tempat persinggahan sementara yang menyakitkan. Seperti angin musim gugur yang berhembus sesaat, yang membuat daun-daun berjatuhan. Kenanganku yang singgah dalam hitungan waktu, membuat berapa luka menganga sementara, hingga daun terakhirpun terjatuh. 
 

Like the autumn sky, it’s empty between us 
As if every autumn leaf has fallen 
As if everything that seemed eternal is going further away 
The dead leaves fall down like tears 
The wind blows and everything drifts apart all day 
The rain pours and shatters 
Until the last leaf, you you you 

Hei, Kim Jonghyun. It’s been 5 years already. Apakah kau berbahagia dengan bahagiamu yang sekarang? 
 

11 November 2016 ,
 
(Will I forget you?)

===================================================================================

Annyeong ~~~
 
FF ‘11 November’ ternyata udah memasuki chapter ke-5 nih. Oiya kalau ada yang lupa bisa aku ingatkan dikit ya. FF yang berjudul 11 November ini rilis (?) setiap tahun sekali yaitu bertepatan dengan tanggal 11 November. FF ini aku publish pertama kali pada 11 November 2012 dan masih berlanjut sampai sekarang. Kalau dilihat dari ceritanya, keliatan gagal move on banget gak? Wkwkwk. Udah dari tahun 2012 sampe sekarang, konsisten apa kurang kerjaan ya ini akunya? Aku juga gak tahu ini cerita akan berlanjut sampai kapan. Mungkin sampai Jonghyun nikah? Bisa jadi hahahahah. Apa yang akan terjadi jika suatu saat Kim Kibum mengetahui kalau masa lalunya akan menikah dalam waktu dekat? Kita tunggu saja di episode selanjutnya ya wahai para pembaca sekalians. 
 
Ppyong~! 
 
© eng-trans lyrics from :
Taeyeon – 11:11
BTS – Dead Leaves